Terkait Penyiksaan ART di Garut, Kemen PPPA: APH Harus Bertindak Tegas

RADARTANGSEL – Deputi Pemenuhan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Ratna Susianawati menyampaikan rasa prihatin terhadap asisten rumah tangga (ART) yang disekap dan dianiaya oleh majikannya di Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat pada 29 Oktober 2022 lalu. Diketahui, korban R (29) merupakan warga yang berasal dari Limbangan, Kabupaten Garut.

 

Ratna menuturkan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga turut memberikan perhatian terhadap kasus tersebut dan meminta kepada aparat penegak hukum (APH) untuk menindak tegas pelaku kekerasan terhadap ART serta memastikan sanksi pidana terhadap teduga pelaku harus setimpal dengan perbuatannya selain terlalu merendahkan martabat perempuan.

 

“Kami turut prihatin dan sangat menyesalkan tindak pidana kekerasan dan pelanggaran hak-hak ART atas kejadian yang menimpa korban R yang disekap dan dianiaya oleh majikannya. Kami mengecam dan sangat menyesalkan tindak pidana kekerasan dan pelanggaran hak-hak ART sebagai pekerja yang telah dilakukan oleh pelaku para majikan sebagaimana peristiwa ini. Kasus-kasus itu memperlihatkan betapa tidak manusiawinya perlakuan terhadap PRT, serta absennya perlindungan Negara terhadap ART, APH harus menindak tegas pelaku kekerasan serta memproses hukum yang sesuai dan berlaku,” ujar Ratna dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (02/11).

 

Kasus yang dialami ART baik penyiksaan, penyekapan, perbudakan, dan sebagainya masih terus berulang terjadi dan harus menjadi pelajaran. Proses hukum berat atau hukuman ringan terhadap pelaku tetap menjadi prioritas utama berdasarkan peraturan yang berlaku sehingga tidak terjadi kasus serupa sebagai efek jera.

 

“Pada hakikatnya semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan baik terhadap rakyat kecil maupun penguasa,” tutur Ratna.

 

Ratna menjelaskan, berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Kepala Desa Cilame, kasus penyiksaan dan penyekapan itu berawal dari kecurigaan warga terhadap suara tangisan korban yang sering didengar warga hampir setiap malam selama dua atau tiga bulan. Bahkan, korban sering di biarkan kehujanan di luar rumah pada malam hari. Dari beberapa kejadian yang terlihat itu akhirnya kecurigaan warga mengerucut pada dugaan korban disiksa oleh majikannya.

 

Warga kemudian melaporkan kejadian tersebut ke pemerintah Desa Cilame dan selanjutnya, Kepala Desa Cilame lantas berkoordinasi dengan aparat Kepolisian dan TNI untuk menolong korban. Pada 29 Oktober 2022, warga didampingi aparat Polisi dan TNI mendobrak rumah yang menjadi lokasi penyekapan korban dan mengevakuasi korban yang menderita sejumlah luka di tubuhnya. Dari hasil visum, korban mengalami luka penganiayaan di bagian wajah, lengan, dan punggung. Saat ini pelaku sudah diamankan dan harus bertanggung jawab atas perbuatannya dalam pemeriksaan Satreksrim Polres Cimahi.

 

Kemen PPPA melalui Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 telah berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bandung Barat. Korban saat ini sudah didampingi untuk membuat laporan ke polisi namun korban berencana pulang ke daerah asalnya dulu di Kabupaten Garut, dan nantinya UPTD PPA Kabupaten Garut juga akan ikut melakukan pendampingan kepada korban.

 

“Tim Layanan SAPA 129 bersama dengan UPTD PPA Provinsi Jawa Barat dan P2TP2A Kabupaten Bandung Barat akan terus memastikan pelindungan dan pemenuhan hak korban khususnya  pendampingan yang dibutuhkan oleh korban dimulai dari pelaporan, pemulihan baik secara fisik maupun psikis, hingga pemulangan korban ke daerah asalnya di Kabupaten Garut. Kami juga akan memastikan pendampingan korban oleh UPTD PPA Kabupaten Garut,” tegas Ratna.

 

Perbuatan para pelaku dikenakan Pasal 333 KUHP tentang kejahatan merebut Kemerdekaan seseorang dengan diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, Pasal 351 Jo Pasal 65 KUHP tentang tindak Pidana penganiayaan yang  dilakukan secara bersama, dan Pasal 44 UU RI No 23 tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga dengan ancaman hukuman kurungan penjara maksimal 10 tahun.

 

Ratna menegaskan, Kemen PPPA menjamin pemenuhan hak perempuan korban kekerasan dalam rangka menurunkan angka kekerasan menjadi salah satu arahan prioritas Pesiden Joko Widodo yang perlu diselesaikan hingga 2024, salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Komitmen Negara hadir sejalan dengan diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yaitu penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional.

 

SAPA 129 merupakan aksesibiltas bagi perempuan dan anak korban kekerasan untuk  melaporkan atau mengadukan kekerasan yang dialami guna mendapatkan layanan sesuai kebutuhan korban. Ratna menghimbau semua pihak untuk peduli dalam pencegahan dan pelindungan serta mengantisipasi terjadi kekerasan pada perempuan dan anak.

 

“Bagi siapapun yang menjadi korban, melihat, ataupun mendengar kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, segeralah melapor. Layanan SAPA 129 dapat diakses dengan mudah melalui hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129. Dengan melapor, maka kita dapat membantu korban untuk kembali bangkit, menjalani hidupnya sehari-hari sesuai dengan hak-haknya, serta mencegah kembali terjadinya kejadian berulang,” tandas Ratna.

Related posts