RADARTANGSEL – Aksi mogok kerja skala nasional yang menentang kenaikan usia pensiun di Prancis semakin menjadi-jadi. Kini, pemogokan gelombang kedua itu telah mengganggu distribusi aliran listrik, transportasi umum, hingga sekolah-sekolah.
Dikutip dari Reuters, hanya sepertiga dari kereta berkecepatan tinggi TGV yang beroperasi pada Selasa (31/1).
Bahkan jumlah kereta lokal di regional yang beroperasi pun lebih sedikit lagi. Sementara kereta bawah tanah di Kota Paris turut terdampak — peron-peron penuh sesak penumpang lantaran minimnya ketersediaan kereta yang beroperasi.
Tak hanya itu, pihak perusahaan distributor listrik yang dimiliki pemerintah EDF (Electricité de France) melaporkan, pasokan listrik Prancis turun menjadi 4,5 persen atau 3 gigawatt, lantaran para pekerja di reaktor nuklir dan pembangkit listrik tenaga panas bumi ikut mogok kerja.
Sementara setengah dari guru-guru sekolah dasar tidak masuk kerja, begitu pula staf yang bekerja di kilang minyak dan penyiaran publik. Alhasil, tidak ada program berita yang disiarkan, hanya lantunan musik saja.
Tidak hanya guru, bahkan para pelajar juga mendukung aksi protes dan memblokade sekolah menengah Turgot di Paris. Mereka membawa plakat bertuliskan ‘Dukungan untuk para pekerja’ dan ‘Pemuda yang marah’.
Aksi protes skala nasional ini diorganisir oleh berbagai serikat pekerja di Prancis. Mereka ingin terus menekan pemerintah dan mengubah kebijakan kenaikan pensiun.
Sekjen Serikat Pekerja CFDT, Mylene Jacquot, mengatakan kemungkinan aksi protes ini akan lebih banyak lagi berlangsung dalam beberapa minggu ke depan.
“Ketika ada oposisi yang begitu masif, akan sangat berbahaya jika pemerintah tidak mendengarkannya,” ujarnya.
Di tengah kerusuhan yang terjadi, ada beberapa pihak yang mendukung aksi protes tersebut dan mewajarkan mogok kerja ini. Salah satunya adalah seorang asisten pengacara bernama Catherine (59 tahun) yang tinggal di Paris.
Catherine menuturkan, dia tidak keberatan jika kesehariannya terdampak aksi demo — harus lama menunggu kereta atau berjalan kaki. “Saya mendukung mereka,” kata Catherine.
“Saya akan segera berusia 60 tahun, jadi saya benar-benar tidak senang jika harus bekerja dua tahun lagi,” imbuhnya.
Kritik serupa juga disampaikan oleh Sekjen Serikat Pekerja UNSA, Luc Farre. “Reformasi ini tidak adil dan brutal,” kecam dia.
“Memajukan [usia pensiun] menjadi 64 tahun adalah sebuah kemunduran secara sosial,” sambung Farre.
Namun, tidak semua setuju atas penyelenggaraan protes. Salah seorang pekerja di sektor industri mewah, Matthieu Jacquot (34 tahun), contohnya.
“Tidak ada gunanya mogok kerja. RUU ini akan diadopsi bagaimanapun juga,” jelas Jacquot.
Hasil polling menunjukkan, sebagian besar penduduk Prancis menentang reformasi pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Emmanuel Macron.
Mereka muak dan marah lantaran tidak memperoleh kenaikan gaji, sementara krisis biaya hidup yang dipicu oleh kenaikan inflasi kian melonjak dan menjerat mereka.
Meski begitu, Macron berniat untuk tetap berada pada pendiriannya.
“Reformasi ini sangat penting untuk memastikan kelangsungan sistem pensiun,” jelas Macron, pada Senin (30/1).
Sebelumnya, pemerintah Paris telah membuat beberapa konsesi dalam RUU — seperti menetapkan usia pensiun di 64 tahun dan menunda usia kelayakan untuk mendapatkan pensiun penuh. Semula, usia agar pekerja bisa pensiun yakni di usia 62 tahun.
Menurut perkiraan Kementerian Ketenagakerjaan Prancis, langkah-langkah ini akan menghasilkan tambahan sebesar EUR 17,7 miliar (Rp 288 triliun) dalam kontribusi pensiun tahunan.