Buruh Tolak Mentah-mentah Sistem ‘No Work No Pay’

banner 468x60

RADARTANGSEL –  Beberapa sektor industri terutama yang bersifat padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki mulai dibayangi ancaman resesi. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun mulai terjadi. Pengusaha mengusulkan sistem kerja ‘no work no pay‘ sebagai solusi. Sikap buruh? Jelas menolaknya mentah-mentah.

Usul menggunakan sistem kerja ‘no work no pay‘ (tidak bekerja tidak dibayar) ini muncul dari Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit. Ia mendesak pemerintah membantu meminimalisir risiko PHK dengan mengatur fleksibilitas jam kerja sesuai prinsip ‘no work no pay‘.

Menurut Anton, jika ada aturan tersebut, maka saat industri sedang lesu, pekerja tidak lantas kehilangan pekerjaan. “Masalah PHK ini menurut kami itu sangat serius, jadi harus antisipasi. Oleh karena itu bisa nggak dipertimbangkan, yaitu harapan kami agar ada satu Permenaker yang mengatur fleksibilitas jam kerja dengan prinsip ‘no work no pay‘,” kata Anton saat Rapat Kerja Kemnaker bersama Komisi IX DPR, Selasa (8/11/2022).

Seperti diketahui, sektor industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki mulai terpengaruh dengan penurunan order hingga 50 persen. “Dengan order menurun 50 persen atau katakanlah 30 persen kita nggak bisa menahan, 1-2 bulan masih oke, tetapi kalau sudah beberapa bulan atau setahun saya kira pilihannya ya memang harus PHK massal,” ujar Anton.

Beberapa perusahaan pun telah melaporkan adanya PHK. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat selama periode Januari-September 2022, terdapat 10.765 buruh yang terkena PHK.

Asas ‘no work no pay‘
Asas ‘no work no pay‘ sebenarnya sudah sejak lama menjadi asas yang berlaku di dunia ketenagakerjaan. Asas ini termaktub pada Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa “upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”.

Hanya saja asas ini sering dijadikan ‘senjata’ bagi pengusaha untuk tidak membayar upah kepada karyawan yang tidak melakukan pekerjaannya sesuai yang disepakati dalam perjanjian kerja. Namun, sebenarnya asas ini tidak berlaku secara mutlak. Karena terdapat beberapa pengecualian yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pengusaha tetap berkewajiban untuk membayar upah jika karyawan berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya atau bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya karena kesalahan pengusaha sendiri atau kendala yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.

Karyawan yang dirumahkan memang tidak disebutkan secara tegas sebagai salah satu pengecualian dari asas tersebut. Namun, ‘karyawan yang dirumahkan’ termasuk pada kondisi bahwa karyawan tersebut sebenarnya bersedia melakukan pekerjaan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya karena kehendak pengusaha.

Hal ini mengingat bahwa keputusan untuk merumahkan karyawan adalah kebijakan dari pengusaha itu sendiri, yang lebih memilih untuk ‘meliburkan atau membebaskan’ karyawan dari pekerjaannya. Sehingga gagalnya pelaksanaan pekerjaan tersebut ‘bukan karena kesalahan’ dari pihak karyawan, dan oleh karenanya asas ‘no work no pay‘ dapat dikecualikan.

Terlebih lagi, karyawan yang dirumahkan pada prinsipnya tetap mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha dan tidak dalam upaya pemutusan hubungan kerja. Sehingga apabila pengusaha tidak membayar upah kepada karyawan yang dirumahkan maka hal tersebut akan berpotensi menimbulkan perselisihan hak, yang dapat diajukan oleh karyawan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Related posts